Rabu, 18 April 2018

Berdamai dengan Ketakutan

Tak seperti biasanya, angin berhembus sangat kencang, pun udara terasa menusuk tulangku. Pagi ini aku bangun lebih awal dari ibu dan ayah juga saudara-saudaraku. Suasana rumah masih sangat sepi. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi, namun tak bisa. Ada perasaan cemas dan takut yang sedang menghantuiku. Bukan takut karena sesuatu yang menyeramkan, melainkan takut akan kehidupan yang sedang ku jalani saat ini.

Satu jam lebih sudah aku bangun dari tidur. Tiba-tiba aku mendengar suara air dari kamar mandi. Aku bergegas ke luar dan coba mengetuk pintu untuk memastikan siapa yang ada disana. Ternyata itu ayah. Setelah selesai buang air kecil, ayah menghampiriku.

"Kenapa kau sudah bangun? Tak seperti biasanya?" Ayah menatapku dengan mata yang masih mengantuk.

"Ayah aku takut." Aku berbicara dengan terbata-bata.

"Kau mimpi buruk?"

"Tidak."

"Lantas apa?"

"Ada perasaan takut yang menghantuiku." Ayah menarik bangku, kemudian memintaku untuk duduk berdampingan dengannya.

Kami pun memulai percakapan dengan santai dan penuh kehangatan, meski udara masih cukup dingin dan jam baru menunjukkan pukul 02.00.

"Ceritakan pada ayah apa yang kamu rasakan!" Aku pun terdiam sejenak.

"Ayah pernah merasa hidup ini sangat kejam?"

"Maksudmu?"

"Maksudku ayah pernah merasa bahwa apa yang ayah pikirkan bertolak belakang dengan apa yang terjadi?" Ayah seolah mengerti arah pembicaraanku.

"Lalu apa yang ayah lakukan?"

"Diam saja." Kali ini aku tau ayah tidah menjawab dengan serius.

"Ayah aku serius."

"Iya nak." ayah menjawab dengan senyum khasnya. "Kamu tau mengapa di dunia ini ada putih dan hitam? manis dan pahit? diam dan bergerak? lurus dan berbelok?" Ayah melanjutkan pembicaraan, dan seperti biasa ayah menjawab dengan penuh teka-teki.

"Karena dalam hidup ini akan ada sisi yang berbeda." Aku menjawab dengan kata-kata yang selalu ayah ucapkan kepada aku dan saudara-saudaraku.

"Ternyata kamu masih ingat, itulah sebabnya ayah tanamkan ini sejak dahulu. Ayah ingin kamu mengerti bahwa di dunia ini penuh kejutan. Sejuta rencana yang kamu impikan mungkin tak bisa jadi kenyataan. Dan tugasmu hanya perlu hidup dalam kenyataan, penerimaan. Bukan lagi hidup dibalik kata "seandainya", sebab jika begitu kamu akan terus hidup dalam kegelisahan yang kamu buat sendiri. Ingat, sesuatu yang bertolak belakang menurutmu adalah karena kamu mengira bahwa apa yang kamu pilih itu lebih baik. Padahal jika kamu bisa menerima sisi yang lain, kamu tidak akan menganggap itu sebagai sesuatu yang bertolak belakang denganmu. Melainkan kamu akan menerima dan berkata bahwa ini adalah jalan terbaikku yang lain."

"Iya ayah, sekarang aku mengerti. Perasaanku sekarang sudah cukup lega." Aku memeluk ayah hingga air mata menetes tanpa sadar seolah tak ingin ketenangan dan keteduhanku segera beranjak.

Pembicaraan hangat ku dengan ayah telah selesai. Tidak terasa ternyata pembicaraan kami sudah cukup lama. Adzan subuh telah berkumandang. Ibu dan saudara-saudaraku pun telah menunggu untuk sholat berjama'ah. Aku dan ayah segera mengambil wudhu. Kamipun sholat berjama'ah di ruang tengah.

_Fa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar