Rabu, 13 Februari 2019

Menyuarakan Kehilangan

Ini bukan tentang siapa yang salah, apalagi siapa yang harus mengalah
Ini tentang keberanian mengambil sebuah keputusan

Entah bagaimana awal ceritanya, tapi semua memang sudah harus diakhiri
Mempersilakkan masa lalu, meninggalkan perannya untuk masa kini

Hingga pada akhirnya, kesadaraan akan sebuah keputusan menjadi yang paling dipertanyakan
Bersambut dengan penyesalan yang tak lagi mampu tergantikan

Dan pada masa yang dulu dianggap biasa, nyatanya menjadi yang teristimewa
Tepuk tangan kali ini, menyuarakan kehilangan dalam keheningan


Dalam ruang gelap, penghujung tahun 2018

Senin, 12 November 2018

Tinggi tak Meninggi

Berada di suatu ketinggian sepertinya sudah tak menarik lagi. Terlalu banyak yang ingin pergi kesana hanya untuk menaikkan gengsi. Katanya yang terpenting aku sudah berada disana. Tak peduli betapa alam sungguh mempesona.

Ramai cekrak cekrek hanya untuk bahan pertunjukkan. Katanya demi sebuah popularitas. Demi mendapat status dalam sebuah komunitas. Tak peduli dengan alam yg ingin bercengkrama dalam kehangatan.

Persiapan seadanyanya, tak perduli banyak bahaya disana. Terhiraukan wejangan orang tua. Katanya yg terpenting eksis disosial media.
Padahal akan lebih banyak cerita. Dibanding sibuk dengan banyak gaya. Menikmati dingin lebih indah dengan ditemani kopi sambil berbagi.

Jika masih begitu, apa yg ingin diceritakan? menikmati saja kau seolah bisu, seolah tuli, seolah tak peduli. Terasa tragis memang dengan yg demikian. Tapi itulah zaman kekinian.

241018

_Dari pemula yang hanya ingin bercengkrama


Senin, 07 Mei 2018

Sarjana diujung Senja

Kalian seorang sarjana? Merasa tak bisa apa-apa? Tak punya segalanya? Merasa belum bisa bahagia? atau merasa hidup kalian biasa-biasa saja? Kalau iya, lanjutkan membacanya !

.................

Julukan sarjana mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang istimewa, tapi bagi sebagian lagi mungkin malah jadi petaka. Petaka? Apa iya?

Mendapat gelar setelah menamatkan masa pendidikan di bangku kuliah terkadang memang menjadi beban, apalagi untuk mereka yang justru lulus kemudian menjadi pengangguran. Awalnya mungkin akan biasa saja, tapi lama kelamaan rasanya jadi membosankan. Ingin bertemu dengan teman, pasti pertanyaannya "sudah kerja dimana?". Membaur dengan tetangga, takut ditanya "masih di rumah saja?". Acara kumpul keluarga malah dibilang "enak ya masih bisa minta sama orang tua, gausah cape-cape kerja". Dan kita pasti rasanya ingin membungkam mereka semua dengan segala jurus yang dicipta.

Diposisi ini lama kelamaan kita justru malah asik mengasingkan diri dan lupa bersosialisasi. Alasannya supaya tidak menjadi depresi. Maunya selalu mendapat apresiasi, padahal tak punya kreasi. Ya itulah masa-masa paling sulit masa paling melilit, masa paling menjepit.

Tapi taukah ternyata masih banyak hal yang bisa kita lakukan? Kalau kita berfikir setelah lulus kuliah harus "bekerja" di kantoran, bukankah kita bisa "bekerja" membantu orang tua di rumah? Sederhananya, kita bisa membantu membereskan rumah, mengantar ayah dan ibu, atau apapun yang dapat meringankan tugas mereka. Ya hitung-hitung sebagai ladang pahala, sambil menunggu panggilan kerja. Bukankah itu juga mulia? Atau kita bisa memanfaatkan waktu-waktu penting ini untuk membantu orang lain yang membutuhkan, seperti terlibat dalam komunitas sosial dan pendidikan. Bukan hanya mengubur diri dalam kekhawitaran akan masa depan. Saya rasa ini pilihan terbaik menghapus kecemasan terhadap kalimat "sarjana tak bisa apa-apa".

Saya yakin kita semua sebenarnya punya banyak potensi. Asal jangan selalu merasa menjadi "pengungsi". Kita adalah tuan rumah atas diri sendiri dengan segala apresiasi. Jangan menjadi pengemis terhadap sebuah karya, tapi jadikanlah karya itu sebagai titipan sang Pencipta. Kita syukuri, kembangkan diri, dan tak boleh tinggi hati. Manfaatkan waktu ! Jangan selalu menunggu ! Lakukan hal yang membuat kita nyaman dan bahagia. Jangan buat diri kita menderita dengan segala dimensi perkara dunia.

Belum bekerja tak ada salahnya kan? Bukan juga sebuah kutukan? Renungkanlah bahwa ini adalah sebuah perjalanan. Kita bisa berjalan lambat, cepat atau bahkan berlari. Semua sudah pada porsinya masing-masing. Jauhkan rasa iri ! Jangan selalu menghakimi diri sendiri ! Dekatkan diri pada Tuhan ! Keberhasilan pasti akan datang. Bak senja yang pasti bertemu meski diujung petang.

Sarjana bukan gelar "keterpurukan" tapi "kebangkitan". Bangkit melawan ketakutan akan goresan hidup dimasa depan.



Senin, 070518
17.45 WIB dalam ruang menuju gelap

Rabu, 18 April 2018

Berdamai dengan Ketakutan

Tak seperti biasanya, angin berhembus sangat kencang, pun udara terasa menusuk tulangku. Pagi ini aku bangun lebih awal dari ibu dan ayah juga saudara-saudaraku. Suasana rumah masih sangat sepi. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi, namun tak bisa. Ada perasaan cemas dan takut yang sedang menghantuiku. Bukan takut karena sesuatu yang menyeramkan, melainkan takut akan kehidupan yang sedang ku jalani saat ini.

Satu jam lebih sudah aku bangun dari tidur. Tiba-tiba aku mendengar suara air dari kamar mandi. Aku bergegas ke luar dan coba mengetuk pintu untuk memastikan siapa yang ada disana. Ternyata itu ayah. Setelah selesai buang air kecil, ayah menghampiriku.

"Kenapa kau sudah bangun? Tak seperti biasanya?" Ayah menatapku dengan mata yang masih mengantuk.

"Ayah aku takut." Aku berbicara dengan terbata-bata.

"Kau mimpi buruk?"

"Tidak."

"Lantas apa?"

"Ada perasaan takut yang menghantuiku." Ayah menarik bangku, kemudian memintaku untuk duduk berdampingan dengannya.

Kami pun memulai percakapan dengan santai dan penuh kehangatan, meski udara masih cukup dingin dan jam baru menunjukkan pukul 02.00.

"Ceritakan pada ayah apa yang kamu rasakan!" Aku pun terdiam sejenak.

"Ayah pernah merasa hidup ini sangat kejam?"

"Maksudmu?"

"Maksudku ayah pernah merasa bahwa apa yang ayah pikirkan bertolak belakang dengan apa yang terjadi?" Ayah seolah mengerti arah pembicaraanku.

"Lalu apa yang ayah lakukan?"

"Diam saja." Kali ini aku tau ayah tidah menjawab dengan serius.

"Ayah aku serius."

"Iya nak." ayah menjawab dengan senyum khasnya. "Kamu tau mengapa di dunia ini ada putih dan hitam? manis dan pahit? diam dan bergerak? lurus dan berbelok?" Ayah melanjutkan pembicaraan, dan seperti biasa ayah menjawab dengan penuh teka-teki.

"Karena dalam hidup ini akan ada sisi yang berbeda." Aku menjawab dengan kata-kata yang selalu ayah ucapkan kepada aku dan saudara-saudaraku.

"Ternyata kamu masih ingat, itulah sebabnya ayah tanamkan ini sejak dahulu. Ayah ingin kamu mengerti bahwa di dunia ini penuh kejutan. Sejuta rencana yang kamu impikan mungkin tak bisa jadi kenyataan. Dan tugasmu hanya perlu hidup dalam kenyataan, penerimaan. Bukan lagi hidup dibalik kata "seandainya", sebab jika begitu kamu akan terus hidup dalam kegelisahan yang kamu buat sendiri. Ingat, sesuatu yang bertolak belakang menurutmu adalah karena kamu mengira bahwa apa yang kamu pilih itu lebih baik. Padahal jika kamu bisa menerima sisi yang lain, kamu tidak akan menganggap itu sebagai sesuatu yang bertolak belakang denganmu. Melainkan kamu akan menerima dan berkata bahwa ini adalah jalan terbaikku yang lain."

"Iya ayah, sekarang aku mengerti. Perasaanku sekarang sudah cukup lega." Aku memeluk ayah hingga air mata menetes tanpa sadar seolah tak ingin ketenangan dan keteduhanku segera beranjak.

Pembicaraan hangat ku dengan ayah telah selesai. Tidak terasa ternyata pembicaraan kami sudah cukup lama. Adzan subuh telah berkumandang. Ibu dan saudara-saudaraku pun telah menunggu untuk sholat berjama'ah. Aku dan ayah segera mengambil wudhu. Kamipun sholat berjama'ah di ruang tengah.

_Fa

Sabtu, 24 Februari 2018

Kini Hingga Esok

Kemarin kau bahas segalanya tentang senja
Senja yang setia
Senja yang selalu mempesona
Sampai senja yang hanya sementara

Sekarang kau bahas lagi semesta
Semesta dengan pencipta-Nya
Semesta yang selalu berpihak
Bahkan semesta yang telah menolak

Esok kau bahas lagi apa?
Tentang fajar? ah sepertinya sudah tak tenar
Bulan? tak asing lagi untuk bualan
Matahari? sudah banyak katanya dicuri

Saya sampai tak peduli berapa banyak kata yang tuan bagi.
Terpenting semua dari hati.
Bukan karena ikutan gengsi.
Apalagi cuma takut jatuh harga diri.

Saya rasa tuan lebih tau.
Tak peduli pada malu.